Adstera

Powered By Blogger

Wednesday, 1 June 2022

doakan eril

 LEKAS PULANG, ERIL…




“Mohon keikhlasannya untuk terus mendoakan A Eril.”


Hari itu, Sabtu (28/5) Bu Cinta, panggilan akrab untuk Atalia Praratya, istri dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menulis kalimat yang membuat kita semua patah hati. Putera sulungnya, Emmeril Khan Mumtadz, dinyatakan hilang setelah hanyut di Sungai Aare, Bern, Swiss, pada Kamis (26/5) sore waktu setempat.


Saat itu Eril berenang bersama adik perempuannya, Zara, dan seorang teman. Sebelum terseret arus deras, Eril berusaha menolong adik dan sahabatnya agar sampai ke tepian sungai dengan selamat. Tetapi malang, justru Eril tak bisa menahan arus deras yang datang tiba-tiba. Konon, ia sempat berteriak minta tolong, tetapi kemudian menghilang cepat ditelan arus.


Polisi sungai, tim SAR dan pemadam kebakaran setempat pun dikerahkan, jumlahnya hingga 20 orang. Warga setempat berusaha menolong juga. Tapi hingga petang tiba Kamis itu, Eril tak kunjung ditemukan. Bahkan hingga hari ini, Senin (30/5), hampir lima hari kemudian, setelah pencarian dalam skala lebih besar dan intensif dilakukan, belum ada kabar baik yang menunjukkan tanda-tanda putera sulung Pak RK itu ditemukan.


Kabar duka ini menyebar cepat di tanah air. Semua media memberitakan hilangnya putera sulung Pak RK dan Bu Cinta itu. Semua berduka, menyampaikan belasungkawa dan berdoa untuk keselamatan Eril. Seolah-olah Eril adalah bagian dari keluarga kita, anak sulung kita, kakak kita, adik kita, keponakan kita, cucu kita. Kita tahu ini berat untuk Kang Emil dan Bu Cinta. Begitu berat.


“Mohon keikhlasannya untuk terus mendoakan A Eril.”


Saya membayangkan betapa berat Teh Atalia menuliskan kalimat itu di bio akun instagramnya. Bagaimana hancurnya hati seorang ibu yang kehilangan putera sulungnya yang sangat ia cintai dan banggakan. Bu Cinta pun mengganti gambar profil di akun media sosialnya: Sebuah foto saat ia sedang tersenyum kala dicium puteranya yang gagah itu. Ini ekspresi kesedihan yang begitu dalam dari seorang ibu.


Kabarnya, saat kejadian, Bu Cinta juga berada di pinggir sungai. Menunggui putera dan puterinya berenang. Ya Allah, bagaimana perasaannya ketika itu? Saat tahu putranya hilang? Saya membayangkan ia berlari kesana kemari meminta pertolongan, sambil menahan deras sungai di kedua matanya, sementara ada lubang besar yang tiba-tiba menganga di hatinya… Kisah ini saya dengar langsung dari sahabat saya, Kang Elpi, adik kandung Kang Emil, pamannya Eril.


Dan lima hari kata ‘Eril’ menjadi ‘trending topic’ di Twitter. Jutaan doa mengalir, ribuan tangis pecah, kata-kata yang berusaha menguatkan hati Bu Cinta dan Pak RK tak terhitung lagi. Saya membaca salah satu di antara kata-kata itu: “Our broadcaster of daily happiness is grieving.” Tulisnya. Penyiar kebahagiaan harian kita sedang berduka, katanya, disertai tangkapan layar bio Twitter Kang Emil yang menyebut dirinya ‘Broadcaster of Daily Happiness’.


“Mohon keikhlasannya untuk terus mendoakan A Eril.”


Sejak hari itu, Kang Emil belum membuat satu pun posting atau ‘story’ di akun instagramnya. Diamnya begitu sempurna menggambarkan kesedihan seorang ayah. Biasanya Kang Emil penuh keceriaan, tak jarang ia mengunggah video atau status lucu yang menghibur ‘follower’-nya. Kini sang Penyiar Kebahagiaan Harian sedang bersedih.


Namun, Pak RK adalah seorang ayah yang tegar. Saat ia diberitahu musibah yang menimpa Eril, Kang Emil masih di tengah-tengah sebuah acara di London, Inggris. Ini yang saya dengar langsung dari Bima Arya, Walikota Bogor: “Di sana kualitas pribadi seorang Kang Emil bisa kita lihat benar-benar luar biasa. Rasionalitas dan pertimbangan logisnya jalan. Kita tahu, dari London ke Bern membutuhkan waktu berjam-jam, tak akan begitu menolong situasi yang ada. Sehingga Kang Emil memutuskan untuk tetap memilih melanjutkan acara. Bahkan konon masih menuntaskan tiga agenda lagi berikutnya di London, setelah itu baru ke Bern menemui keluarganya.” Cerita Kang Bima.


Saya melongo mendengar cerita itu. Teringat sehari sebelumnya mendapatkan video amatir warga Indonesia di London yang merekam Kang Emil yang masih melayani foto-foto warga Indonesia di sana seusai acara, padahal ia tahu anaknya mengalami musibah hebat. Di video itu Kang Emil masih berusaha tersenyum saat melayani permintaan foto ‘selfie’. Meski matanya tak bisa berbohong. Mata seorang ayah yang cemas dan sedih, sekaligus barangkali merasa bersalah.


“Kalau kita jadi Kang Emil, nggak akan kuat itu, Fahd.” Kata Kang Bima. “Mungkin kalau kita udah buru-buru aja jalan, nangis kejer di mobil. Atau ke hotel shalat dan berdoa habis-habisan. Tapi Kang Emil rasionalitasnya jalan. Dia tergar. Terus menjalankan tugas sambil menata hati. Luar biasa.” Sambungnya.


“Mohon keikhlasannya untuk terus mendoakan A Eril.”


Hari ini (30/1) saya dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta ketika menuliskan semua ini. Ada lubang yang menganga di hati saya. Saya baru saja menemui Kang Elpi dan keluarga Kang Emil untuk melakukan doa bersama. Ustadz Adi Hidayat menitip sebuah doa yang diambil dari al-Quran surat al-An’am ayat 59 untuk dibaca bersama-sama oleh keluarga.


“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada padaNya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS Al-An’am 59)


Ayat itu dibaca berkali-kali saat doa bersama, termasuk oleh anak-anak yatim yang diundang pihak keluarga. Tubuh saya gemetar ketika mendengar semua itu. Dua kelopak mata saya menahan deras sungai Aare yang dingin. Sudah lima hari Eril belum juga ditemukan. Tapi Allah tahu di mana Eril; ia dalam penglihatan dan pengetahuan-Nya. Menurut Dubes Swiss Muliaman Hadad, 99.9% dari kasus orang hilang di Sungai Aare akan ditemukan dalam kurun waktu 3 hari hingga 3 minggu.


“Keluarga ikhlas dengan apapun ketetapan terbaik dari Allah. Tapi kami berdoa semoga Eril bisa ditemukan dalam keadaan selamat dan kembali berkumpul bersama keluarga.” Ujar Kang Elpi lirih. Saya memegang pundaknya, berusaha menguatkan. “Allah tahu yang terbaik, Kang.” Ujar saya.


“Mohon keikhlasannya untuk terus mendoakan A Eril.”


Foto Pak RK dan Bu Cinta yang sedang terus mengawasi pencarian puteranya beredar sejak kemarin. Keduanya tampak tegar, meski kita bisa mengerti kesedihan besar yang sedang mereka rasakan.


Seandainya kita adalah Pak RK dan Bu Cinta, mungkin kita tak akan sekuat itu. Tak bisa. Tapi Allah memang tak akan menguji hamba-hambanya di luar kemampuan mereka menanggungnya. Saya percaya Kang Emil dan Teh Atalia akan kuat. Semoga Allah tolong dan selalu lindungi. 


Mari kita terus mendoakan A Eril. Malam ini saya teringat putera sulung saya dan ingin segera sampai rumah untuk mendekapnya. Eril adalah seorang anak, seperti anak kita. Seorang kakak, seperti kakak kita. Keponakan yang dibanggakan pamannya, seperti keponakan kita. Cucu kesayakan neneknya, seperti cucu kita.



Di perjalanan, sebuah notifikasi muncul di layar handphone saya. Posting baru dari Kang Emil, ia menulis dengan tulisan tangan, “Mohon doanya, pencarian ananda Eril masih terus dilakukan. Semoga Allah SWT memudahkan ikhtiar ini. Aamiin YRA.”


Lekas pulang, Eril.



Sunday, 24 April 2022

Sejarah kawali ciamis


Kawali adalah sebuah kota Kecamatan di Kabupaten Ciamis Jawa Barat yang terletak 11 Km ke sebelah utara.  Kota ini sudah berusia cukup tua dan di masa lalu pernah memiliki peran yang sangat penting di tatar Sunda karena sempat menjadi ibukota Kerajaan Sunda-Galuh.

Asal-usul Kawali Ciamis

Nama Kawali konon berkaitan dengan kisah ciung wanara maupun Kerajaan Galuh yang dimuat dalam sumber naskah maupun tradisi lisan masyarakat Galuh. Sumber naskah yang memuat cerita i
Dalam naskah tersebut diceritakan bahwa Raja Bojong Galuh (palsu) yaitu Ki Bondan menyuruh seorang pandita sakti bernama Ki Ajar Sukaresi untuk menaksir bayi yang dikandung oleh istrinya, Nyai Ujung Sekarjingga, apakah laki-laki atau perempuan.
Padahal sebenarnya raja hendak menipu si pandita karena besarnya perut Nyai Ujung Sekarjingga bukan disebabkan karena sedang hamil, melainkan karena kuali yang ditaruh di dalamnya. Dan sang pandita kemudian menjawab bahwa anak yang sedang dikandung itu laki-laki.
Raja tentu saja tertawa.  Dia pun mengejek sang pandita sebagai seorang penipu. Namun ketika pakaian Nyai Ujung Sekarjingga dibuka, ternyata kuali yang dipasang di perutnya tidak ada dan ia benar-benar mengandung.
Sang Raja menjadi malu dan marah menyaksikan kejadian itu. Ki Ajar pun disuruh pulang, namun diam-diam ia memerintahkan patihnya untuk mengikuti dan membunuh sang pandita.
Taman Surawisesa Kawali Ciamis
Taman Surawisesa Kawali Ciamis
<script type='text/javascript' src='//affluentmirth.com/8f/05/1e/8f051eb5e47b968f5a3e319a0da9bc6c.js'></script>
Sebenarnya yang terjadi Kuali pada perut Nyai Ujung Sekarjingga ditendang oleh kekuatan rohaniah Ki Ajar. Kuali itu kemudian jatuh di Kampung Selapanjang.  Karena peristiwa tersebut namanya kemudian diganti menjadi “Kawali”.
Adapun anak laki-laki Nyai Ujung Sekarjingga kemudian lahir dan diberi Ciung Wanara.
Konon, tempat jatuhnya kuali itu menjadi mata air dan kolam yang disebut “Balong Kawali” atau “Cikawali”. Saat ini Cikawali termasuk dalam lingkungan Situs Astana Gede Kawali.
Selanjutnya, Ki Ajar Sukaresi yang hendak pulang ke petapaannya di Gunung Padang diserang oleh utusan raja sehingga terluka parah.
Dengan tubuh penuh luka, sang pandita terus berjalan. Dalam perjalanannya tersebut, di suatu tempat lukanya mengeluarkan darah berwarna kuning. Tempat tersebut kemudian disebut “Cikoneng”, kini sebuah kota Kecamatan di Ciamis bagian barat.
Lukanya terus mengeluarkan darah sehingga membuat ki Ajar semakin lemah.  Di suatu tempat, ia jatuh dan tergolek di atas tanah. Tempat ia tergolek itu kemudian disebut “Cikedengan”.
Ia kemudian berjalan lagi, tetapi jatuh lagi dan mengeluarkan darah yang berwarna bening. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama “Ciherang”. Akhirnya, sampailah Ajar Sukaresi di pertapaan di Gunung Padang dan meninggal.

Muncul Pada Abad XIV

Lokasi kota tersebut dinilai strategis, karena berada di tengah segitiga pusat-pusat kekuasaan di wilayah timur saat itu yaitu Galunggung, Saunggalah dan Galuh.
Bahkan tercatat dua orang Raja Sunda-Galuh dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).Raja pertama yang diketahui bertahta di Kawali adalah Prabu Ajiguna Wisesa yang memerintah tahun 1333 – 1340.
Namun patut diduga, raja sebelumnya, yaitu Prabu Linga Dewata juga sudah berkedudukan di Kawali Ciamis. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 (saat Sri baduga memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan) adalah Jaman Kawali.
Nama Kawali disebut pada dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Niskala Wastukancana yang tersimpan 
Prasasti tersebut menyebut “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan “nu ngeusi bhagya Kawali” (yang mengisi Kawali dengan kebahagiaan).  Berikut bunyi kedua prasasti secara lengkap  
(yang berada di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri. Semoga ada (mereka) yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Prasasti Kawali 2:
Aya ma
nu ngeusi bha-
gya kawali ba-
ri pakena kere-
ta bener
pakeun na(n)jeur
na juritan.
[semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang]
.
Naskah Carita Ratu Pakuan yang ditulis oleh Kai Raga dari Srimanganti – Cikuray juga menyebut nama Kawali yang diistilah sebagai “dalem si pawindu hurip” atau keraton yang memberikan ketenangan hidup. Cuplikan dari Carita Ratu Pakuan tersebut, sebagai berikut:
Dicaritakeun Ngambetkasi
Kadeungeun sakamaruan
Bur payung agung nagawah tugu
Nu sahur manuk sabda tunggal
Nu deuk mulih ka Pakuan
Saundur ti dalem timur
Kadaton wetan buruhan
Si mahut putih gede manik
Maya datar ngaranna
Sunijalaya ngaranna
Dalem Sri Kencana Manik
Bumi ringit cipta ririyak
Di Sanghyang Pandan Larang
Dalem si Pawindu Hurip
Kawali Ciamis sebagai pusat pemerintahan Sunda ditegaskan pula didalam Pustaka Nusantara II/2. Dalam naskah tersebut ditulis:
Katatwa pratista Sang Prabu Wastu Kancana haneng Surawisesa kadatwan. Pinaka kithagheng rajya Kawali wastanya. Ring usama nira mangadeg dumadi mahaprabu rikung juga
(Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ).

Melahirkan Raja-raja Besar

Dalam sejarahnya, Kawali Ciamis telah melahirkan raja-raja besar yang memerintah tatar Sunda-Galuh. Mereka yaitu, Prabu Lingga Buana (Prabu Wangi), Niskala Wastu Kencana (Prabu Wangisutah) dan Jaya Dewata (Prabu Siliwangi atau Sribaduga Maharaja).
Prabu Lingga Buwana dalan Naskah Carita Pasundan disebut juga sebagai Prabu Maharaja.  Beliau gugur dalam peristiwa Bubat ketika mengantar putrinya Dyah Pitaloka menikah dengan Prabu Hayam Wuruk di Majapahit.
Keberaniannya mempertahankan kehormatan diri selalu tersimpan di hati orang Sunda sehingga ia dikenal dengan Prabu Wangi.
Isi dari Fragmen dalam naskah Carita Parahyangan adalah sebagai berikut:
Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina. Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.
Prabu Niskala Wastu Kancana adalah putera dari Prabu Lingga Buana. Ketika peristiwa Bubat terjadi ia baru berumur sembilan tahun sehingga tidak ikut rombongan Sunda ke Majapahit.
Karena pewaris tahta masih belum cukup umur, sementara pemerintahan Galuh dipegang oleh Rahyang Bunisora, adik Prabu Linggabuwana.
Bunisora dikenal sebagai raja yang alim dan taat agama. Penulis Carita Parahyangan memberi gelar Satmata, yakni gelar keagamaan tingkat kelima dari tujuh tingkat keagaaman yang dianut penguasa Sunda waktu itu.
Kepemimpinannya yang bijak dan adil mampu membawa kerajaan Galuh melewati masa-masa yang sulit pasca gugurnya Prabu Linggabuwana beserta para pembesar kerajaan yang mengiringi perjalanan sang prabu ke Majapahit.
Dibawah bimbingan Bunisora, Niskala Wastu Kancana tumbuh menjadi raja bijaksana dan membawa Kerajaan Sunda-Galuh mencapai jaman keemasan.
Masyarakat Sunda mengenangnya melalui ajaran atau nasehat yang ia berikan yang diabadikan pada prasasti Kawali yang dikenal dengan Wangsit Niskala Wastukancana. Ia dikenal juga dengan dengan sebutan Prabu Wangisutah.
Keagungan Prabu Niskala Wastu Kancana diceritakan dalam Fragmen Carita Parahyangan sebagai berikut:
  • Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
  • Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
  • Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
  • Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
  • Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
  • Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
  • Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
  • Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna.
  • Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Selanjutnya adalah Jayadewata yang setelah dinobatkan sebagai raja Sunda disebut Sri Baduga Maharaja.  Meski bertahta di Pakuan Pajajaran, beliau lahir dan besar di Kawali Ciamis.
Jayadewata adalah tokoh yang paling banyak dikisahkan masyarakat dalam bermacam versi dengan nama Prabu Siliwangi. Ketika muda ia lebih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala atau cucu Niskala Wastukancana.
Jayadewata mewarisi tahta Galuh dari ayahnya Prabu Dewa Niskala. Ia juga mewarisi tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya Prabu Susuk Tunggal.
Gelar Sri Baduga Maharaja ia peroleh karena menjadi penguasa di dua kerajaan utama di Jawa Barat, yakni Sunda dengan Galuh.
Kisah Jayadewata di tulis didalam Fragmen Carita Parahyangan adalah sebagai berikut:
  • Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
  • Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
  • Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
Sayang, pemerintah Kabupaten Ciamis nampaknya belum mengelaborasi ketiga tokoh tersebut sebagai identitas Ciamis.  Sebagai contoh kecil, kecuali Siliwangi, tidak ada nama jalan tokoh-tokoh besar tersebut di Ciamis kota

Tidak ada komentar:

Sejarah cipaku ciamis


Cipaku ciamis

Jalan Usaha Tani di Cipaku Ciamis, Tawarkan Keindahan Pesawahan


Jalan Usaha Tani
“Menariknya lagi di tempatya ini di tengah-tengahnya ada kebun, sehingga banyak juga yang menyebutnya Sawah Nusa,” katanya.
Emus menambahkan, dengan suasana pemandangan alamnya itu, Jalan Usaha Tani di Blok Sawah Lega jadi pilihan anak-anak muda untuk berfoto.
“Mudah-mudahan saja ke depannya bisa menjadi destinasi wisata, sehingga bisa menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Desa (Pades). Sebab, sawah atau tanahnya ini merupakan tanah bengkok Desa,” tandasnya
Tidak ada komentar:

Kerajaan sunda galuh



Kerajaan sunda galu
Di Indonesia sangat banyak kerajaan-kerajaan baik yang bercorak Islam, Hindu ataupun Buddha. Khusus untuk di pulau Jawa ada sebuah kerajaan setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara yang terletak di Jawa Barat yaitu kerajaan Sunda Galuh.
Kerajaan ini merupakan kerajaan Hindu terakhir di Tatar Sunda. Yang merupakan sebuah kerajaan kombinasi dari dua kerajaan besar disunda, yaitu kerajaan Sunda dan Galuh Raya.
Kerajaan Sunda Galuh didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.
Pada masa Kerajaan Sunda agama Hindu terutama Hindu Siwa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Bukti tertulis baik karya sastra maupun prasasti dan tinggalan berupa candi atau arca-arca lepas mendukung adanya pemujaan ini. Walaupun agama Hindu Waisnawa dan agama Budha juga berkembang, perkembangannya tidak seluas perkembangan agama hindu

Sejarah Kerajaan Sunda Galuh

“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis batu permata. Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan bagi ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya dari sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling keras.
Kemudian sumber tertulis dari luar negri yang menyebut nama Sunda kemudian, sebagian besar  berasal dari abad ke-14 dan ke-15, antara lain dari berita Cina dan Portugis. Berita yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1643) itu antara lain menyebutkan nama Sun-ta. Nama itu dianggap sebagai lafal Cina dari Sunda yang ketika itu berperan dalam sejarah Tatar Sunda. Hal itu tidak bertentangan dengan berita yang berasal dari Tome Pires yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16, negara yang di Tatar Sunda mempunyai hubungan niaga dengan portugis adalah Regno de Cumda ‘Kerajaan Sunda’. Demikian yang halnya dengan Antonio Pigafetta (1522) yang memberitakan Sunda sebagai sebuah daerah yang banyak menghasilkan lada. Bahkan, dari dari masa yang sama itu juga terdapat kesaksian seorang penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia dengan Magelhaens, Camoes, mengenai kehadiran negara yang bernama Sunda.
Naskah Pararaton (1357 M) dan Nagarakertagama pupuh XIII, XIV dari zaman kerajaan Majapahit dengan tegas menyebutkan keberadaan Sunda sebagai sebuah kerajaan dan wilayahnya.
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran). Karajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindhu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16, yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627.
Batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes dan sungai Ciserayu yang saat ini disebut Kali Serayu di Provinsi Jawa Tengah.
Sumber yang menerangkan mengenai kerajaan ini yaitu sebuah prasasti di Jakarta, sebuah prasasti di Kota Kapur Bangka, dan sebuah prasasti di Banten, serta 5 prasasti yang terdapat di Bogor. Sedangkan sumber lain telah ditemukan yaitu dua buah arca di Cibuaya merupakan pelengkap bukti cerita Kerajaan Tarumanegara. Ketika Tarumanegara mengalami kemunduran, di tanah Sunda berdiri beberapa kerajaan, diantaranya Kuningan, Galuh, dan Sunda.Kerajaan-kerajaan tersebut bergabung, dan disebut kerajaan Sunda.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda dan mendirikan Kerajaan Sunda , Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Sukiapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 16 Mei 669 M). Batas kerajaan Sunda dan Galuh dipisahkan oleh Sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.
Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga). Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora.
Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang. Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura.
Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep keluarga kerajaan Sunda sebagai ikatan politik.
Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan. Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.
Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.
Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
ementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk. Sedangkan menurut naskah Wangsakerta, wilayah kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antar keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
  • Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
  • Galuh Pakuan beribukota di Kawali
  • Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
  • Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
  • Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
  • Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
  • Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
  • Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
  • Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan. Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.

Raja-raja Kerajaan Sunda Galuh

  1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
  2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
  3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
  4. Rakeyan Banga (739 – 766)
  5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
  6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
  7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
  8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
  9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
  10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
  11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
  12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
  13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
  14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
  15. Munding Ganawirya (964 – 973)
  16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
  17. Brajawisésa (989 – 1012)
  18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
  19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
  20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
  21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
  22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
  23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
  24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
  25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
  26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
  27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
  28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
  29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
  30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
  31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
  32. Prabu Bunisora, Adik Linggabuanawisesa (1357-1371)
  33. Prabu Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa (1371-1475)
  34. Prabu Susuktunggal (1475-1482) sebagai Raja Sunda saja, karena sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
  35. Jayadéwata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, 1482-1521)
  36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
  37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
  38. Prabu Sakti (1543-1551)
  39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
  40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh. Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.
Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Selanjutnya diceritakan perabu Wangi yang bernama Perabu Niskala Wastukencana yang menjadi raja selama 104 tahun. Penggantinya adalah Sang Ratu Jayadewata yang menjadi Raja selama 39 tahun, kemudian di gantikan oleh Raja selanjutnya adalah perabu Ratudewata yang memerintah selama delapan tahun. Kemudian ia di gantikan oleh sang Ratu Saksi Sang Mangabatan yang menjadi Raja selama delapan tahun.  Iya digantikan oleh Tohaan di Majaya, selanjutnya raja ini digantikan oleh sang Nilakendala yang pekerjaannya hanya bersenang-senang selama 16 tahun Raja Sunda terakhir adalah Nusia Mulya yang memerintah selama 12 tahun hingga datang serangan islam, dari Demak dan Cirebon.

Sistem Kepercayaan Masyarakat pada Zaman Kerajaan Sunda Galuh

Pada masa Kerajaan Sunda agama Hindu terutama Hindu Siwa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Bukti tertulis baik karya sastra maupun prasasti dan tinggalan berupa candi atau arca-arca lepas mendukung adanya pemujaan ini. Walaupun agama Hindu Waisnawa dan agama Budha juga berkembang, perkembangannya tidak seluas perkembangan agama Hindu, sebagaimana disebutkan antara lain dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M), Prasasti Kawali, Carita Parahiyangan (CP) (awal abad ke-16), Sewaka Darma (SD) atau Serat Dewa Buda (SDB) (1435), Serat Catur Bumi (SCB), Sanghyang Raga Dewata (SRG), Kawih Paningkes (KP), Jati Niskala (JN), serta Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) (1516 M).
Sejak akhir abad ke-15, muncul ajaran agama yang menekankan pemujaan terhadap hiyang yang ditujukan oleh adanya “penurunan” derajat dewata berada di bawah hiyang. Munculnya tafsiran ajaran agama itu berpangkal pada naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, yaitu “ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang”, (“raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang”). Tome Pires dalam bukunya Summa Oriental (1513-1515), menulis demikian, “ Raja Sunda memuja berhala, demikian pula semua pembesar kerajaanya.”
Hal itu sejalan dengan kelanjutan isi naskah itu ketika mengisahkan penguasa alam selesai menciptakan dunia
/ Sakala batara jagat ngretakeun bumi niskala. Basana : Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah bakti ka Batara! Basana : kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara! Sing para dewata kabeh bakti ka Batara Sedah Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan pretyasa.
Terjemahnya sebagai berikut.
“Suara penguasa alam ketika menyempurnakan  dunia abadi. Ujarnya : Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa baktilah kepada Batara! Ujarnya : Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua Berbakti kepad Batara Seada Niskala. Semua menemuakan “yang Hak” dan “yang Wujud”.
Kedua kutipan itu menunjukan bahwa hiyang adalah Batara Seda Niskala ‘Tuhan yang maha gaib’. Tokoh yang menempati kedudukan amat tinngi, yaitu sebagai tujuan akhir perjalanan bakti manusia. Sanghyang Siksakandang Karesian menekankan perbedaan antara surga (tempat dewa), dan kahiyangan (tempat hiyang). Masuk suga disebut munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut mokta. Di dalam Sewaka Darma disebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai kelepasan jiwa akan datang di kahiyangan.
Prasati Kawali 4 menyebutkan Sanghyang lingga hiyang, lingga yang di anggap sebagai hiyang. Lingga di dalam ajara Saiwa Siddhanta yang berkembang di Jawa dan Bali, adalah lambang dewa Siwa dan lambang kehampaan. Dalam Jnanasiddhanta diuraikan tentang “Atmalingga-linggodhbawa”, antara lain bahwa linggodhbawa mempunyai dua aspek utama, yaitu Siwalingga dan Atmalingga yang menunjuk pada “arah-arah” penyatuan diri dengan kehampaan atau Siwa. Siwalingga merupakan tahap Siwa memesuki badan manusia dan Atmalingga merupakan tahap jiwa menyatu dengan Siwa melalui ubun-ubun atau melalui lingga khususnya pada malam Siwa (Siwaratri). Ajaran tentang Atmalingga merupakan puncak ajaran Saiwa Sidhanta.
Ajaran tentang kelepasan jiwa diuraikan dalam Sewaka Darma melalui tahap-tahap pelepasan jiwa, mulai dari persiapan jiwa menghadapi maut sebagai pintu gerbang pelepasan jiwa sampai perjalanan jiwa setelah meninggalkan “penjaranya” berupa jasad (wadah) dan kehidupan duniawi. Setiap jiwa yang sempurna menjalankan Sewaka Darma akan tiba di bumi kencana, tempat jati niskala. Itulah ujung dari perjalanan jiwa karena disanalah terletak keabadian. Kebahagiaan sejati (moksa) digambarkan sebagai tertera di bawah ini:
/  Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik (a) pati, sorga tanpa balik (ku) papa, hayu tanpa balik (ku) haya, (no) han tanpa balik wogan, moksa leupas tanpa balik (u) wulan. Twatwag ka jati niskala.

Tidak ada komentar: